Pada hari rabu, 19 September 2018 divisi keilmuan Forkomsi UGM mengadakan kajian keilmuan dengan topic “Efek Domino Pelemahan Nilai Tukar Rupiah.” Topik ini diangkat berkenaan dengan melemahnya nilai tukar rupiah hingga Rp 15.002 pada awal september dari kurs awal tahun yang berada di posisi Rp 13.610 per dollar US. Meskipun rata-rata kurs nilai tukar dari Januari-September berada di angka Rp 13.977 per dollr AS (Pernyataan Menteri Keuangan pada Seminar Nasional Apindo September 2018) namun fluktuasi rupiah terhadap dollar membuat pasar dan masyarakat cukup beraksi dan mulai resah.
Berlatarbelakang dari fenomena di atas, maka divisi Keilmuan Forkomsi berinsiatif mengangkat topic ini sebagai bahan kajian rutin September 2018 dengan mengundang Ibu Sekar Utami Setiastuti, M.Sc., M.Ec., Ph.D, salah satu staff pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM yang memiliki spesifikasi khusus dalah bidang internasional moneter, keuangan dan investasi. Kajian keilmuan dibuka pukul 14.00 oleh Maria Paramastri mahasiswa Magister Sains FEB UGM dengan pengatar mengenai kondisi perekonomian Indonesia dan Dunia secara sekilas khususnya mengenai fenomena kemerosotan nilai tukar secara global yang tidak hanya terjadi di Indonesia namun di berbagai negara lain seperti Argentina dan Turki serta asumsi penyebab kemerosotan nilai tukar akibat dari perang dagang AS dan China dan kebijakan kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Setelah pengantar, Ibu Sekar selaku pemateri memberikan sebuah pertanyaan, “Benarkah kita sekarang sedang krisis? Apa indikatornya?”. Sesi pemaparan materi selama 1 jam 15 menit berlangsung dengan sangat ringan dengan materi yang dibawakan oleh Bu Sekar terkait yang dimulai dengan pembahasan bahwa krisis tidak hanya dilihat dari nilai tukar atau pergerakan rupiah namun juga dari Exchange Market Pressure Index (EPI) sebagai indicator krisis ekonomi. Pemaparan mengenai EPI Indonesia yang direview dari tahun 2002-2018 dengan mengasumsikan kondisi perekonomian dan global yang dialami Indonesia (supreme mortgage AS 2008, tapper tantrum AS 2013 dan krisis 2015) menyatakan bahwa kondisi EPI Indonesia 2018 masih berada di level aman < 1.5 (indikator krisis >1.5 yang dikemukakan oleh Einchengreen et al, 1995, 1996). Hal ini disebabkan oleh kuatnya fundamental Indonesia sehingga apa yang dikhawatirkan akan terjadi krisis yang besar sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan karena current account deficit Indonesa yang berkembang dari 5.7 triliun USD pada Q1 naik hingga 8.02 triliun USD pada Q2.
Pada kesempatan ini, Bu Sekar juga menyampaikan mini papernya dengan menyimpulkan bahwa pengaruh depresiasi nilai tukar terhadap output relative lebih kecil pada tahun 2018. Efek inflasi dari depresiasi nilai tukar sangat kecil dan akan turun kurang lebih 3 bulan setelah terjadi inflasi. Depresiasi nilai tukar merupakan efek campuran dari suku bunga. Pada Juli 2018 depresiasi nilai tukar meningkatkan suku bunga sedangkan pada krisis Oktober 2008 dan Juni 2013, suku bunga turun diikuti penurunan nilai tukar.
Lantas bagaimana langkah kita untuk merespon fluktuasi nilai tukar rupiah? Kita dianjurkan untuk tidak panik, karena ketika pasar panik akan menciptakan iklim yang kurang kondusif dan akan berpengaruh juga pada investor dan perekonomian. Langkah nyata yang dapat kita lakukan adalah menghentikan sementara pembelian barang-barang impor yang bersifat konsumtif dan mengalokasikan dana pada aktivitas yang bersifat investasi di dalam negeri, tak lupa juga menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dengan tidak panic tutup Bu Sekar mengakhiri sesi kajian keilmuan pada bulan September ini.